Wednesday, October 26, 2011

rokok-merokok

Siapapun tahu gaya hidup dengan merokok merugikan kesehatan seseorang bahkan lingkungannya. Siapapun tahu betapa gaya hidup dengan merokok bagi kalangan tidak mampu, misalnya, sangat merugikan bagi pundi-pundi ekonomi keluarga. Namun sayangnya, siapapun juga tahu, kalau pendapatan pajak pemerintah dari produsen rokok segala merek sangat diharapkan. Jika demikian, benarkah meningkatkan cukai pajak rokok akan mempengaruhi tingginya harga rokok yang berarti mengurangi konsumsi rokok bagi kalangan miskin? Bisakah itu dijadikan solusi penurunan jumlah perokok di Indonesia?





Pada 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan penyakit yang berkaitan dengan tembakau akan menjadi masalah kesehatan utama di dunia yang menyebabkan 8,4 juta kematian tiap tahunnya. Separuhnya terjadi di Asia, yang terus mengalami peningkatan hampir empat kali lipat dari 1,1 juta pada 1990 menjadi 4,2 juta pada 2020. Sebagaimana dilaporkan tim penanggulangan masala Sementara di Indonesia sendiri, berdasarkan laporan Tim Penanggulangan Masalah Tembakau Departemen Kesehatan RI, sedikitnya 9,2 persen dari 3320 kematian pada 2001 disebabkan oleh tembakau.

Lebih jauh lagi, masalah konsumsi tembakau atau rokok, telah memberikan kontribusi negatif terhadap lingkungan yang terpapar asap rokok atau biasa disebut para perokok pasif. Saat ini, sedikitnya 57 persen rumah tangga di Indonesia mempunyai satu orang perokok yang hampir seluruhnya (91,8%) merokok di rumah. Akibatnya, tandas laporan WHO, sedikitnya 43 juta anak di Indonesia berusia 0-14 tahun terkena paparan asap rokok yang akan berpengaruh pada mudahnya anak-anak tersebut terkena infeksi saluran pernafasan, infeksi telinga tengah serta asma.

“Hal itu sudah pasti,” kata Ketua Yayasan Kesehatan Konsumen Indonesia, Marius Widjaya, menjawab Waspada perihal hasil penelitian tersebut. Pasalnya, lanjut Marius, asap tembakau mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia, termasuk 43 diantaranya yang diketahui menyebabkan kanker (Karsinogen) pada manusia. “Tak ada kadar paparan asap rokok yang aman,” tambah dia.

Untuk itu, dikatakan Marius, pemerintah seharusnya tak perlu berpikir lain selain menaikkan harga produk tembakau, yang nantinya akanm engurangi konsumsi, terlebih pada anak-anak, remaja serta golongan berpenghasilan rendah.

Selain itu, meningkatkan harga rokok, akan meingkatkan pula penerimaan pemerintah dari cukai tembakau. “Selain itu, kalau semakin sedikit rakyat kita yang merokok, investasi kesehatan dengan semakin jarangnya mereka terancam penyakit akibat rokok akan semakin besar,” tandas Marius.

Namun demikian, kenyataan saat ini berkata lain, di mana Indonesia adalah salah satu dari dua negara di ASEAN yang paling rendah tarif cukai tembakaunya , yakni 31,5%.

Penerimaan pemerintah dari cukai tembakau sendiri mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selain itu, 7,6 persen total pendapatan pemerintah pada 2002 atau sekitar 23 trilyun, berasal dari tembakau.

Oleh karena itu, Marius menyadari, ada beberapa kekhawatiran di kalangan pengambil keputusan jika cukai tembakau dinaikkan, karena konsumsi dipastikan akan mengalami penurunan karena harga rokok atau tembakau naik. Padahal, beberapa studi menunjukkan bahwa presentasi keaikkan justru lebih tinggi pada pendapatan negara jika cukai dinaikkan yakni 6,7 sampai 9,0 persen. (dian)

No comments: